Karya Lexie xu
Ada perasaan sesak yang sulit dijelaskan saat seorang cowok melihat tetes air mata mengalir turun di atas pipi seorang cewek cantik.
Ada perasaan sesak yang sulit dijelaskan saat seorang cowok melihat tetes air mata mengalir turun di atas pipi seorang cewek cantik.
Setidaknya, itulah yang kurasakan saat aku melihat Lexie menangis di balkon sekolah saat ini. Cewek itu bukannya cantik-cantik amat sih. Sebenarnya, dia cewek paling jail di sekolah, nyaris mengesalkan, tapi sejauh ini belum ada yang memprotes kelakuannya itu. Mungkin karena tak ada yang menegurnya, kelakuannya makin menjadi-jadi saja dari hari ke hari.
Tapi, hari ini, saat melihatnya menangis di balkon, aku jadi terenyuh. Rambut yang melambai-lambai ditiup angin, air mata yang membasahi pipinya, belum lagi pakaian seragam cewek di sekolah kami memang imut banget.
Rasanya, aku jadi jatuh cinta.
Tanpa bisa menahan diri lagi, aku menghampirinya. "Lex, lo kenapa? Kok nangis gitu? Siapa yang gangguin lo?"
Lexie menoleh padaku. Sekilas terlihat binar aneh di matanya, tapi hanya sekejap saja, jadi kukira aku hanya salah lihat. "Nggak ada yang gangguin gue kok. Tapi, gue belum makan dari pagi."
Hah? "Trus lo nangis gara-gara?"
"Gara-gara laper."
Sialan. Percuma aku jadi mellow gara-gara cewek iseng kayak begini. Bisa-bisanya nangis cuma karena beginian. "Ya udah. Bye-bye."
"Eh, jangan pergi dulu!" Bajuku ditarik keras-keras sampai-sampai aku nyaris terpelanting ke belakang. "Lo pinjemin gue duit dong!"
"Gue nggak ada duit!" teriakku. "Lo kenapa nggak minjem orang lain aja? Di sekolah kita kan banyak yang tajir. Si Tony gitu, yang setia kawan gila-gilaan, atau Markus yang nggak pernah segen traktir semua cewek di sekolahan. Kalo lo gengsi, masih ada Frankie yang suka minjemin duit pake bunga, kayak lintah darat junior. Kenapa lo harus pilih gue, cowok paling miskin di sekolah ini?"
"Halah, gak usah merendah. Gue tau bapak lo punya apotek keren."
"Iya, tapi duit jajan gue sedikit banget!" teriakku. "Plis lah. Jangan palak gue. Plis!"
Sial. Tanpa peduli sedikit pun pada ucapanku yang mengiba-ngiba, cewek itu tetap ngotot kepingin merebut dompetku.
"Lo kenapa sih tega gitu?" Aku terus meminta belas kasihannya. "Memangnya dosa apa gue sama elo?"
"Dosa lo adalah," sahut cewek itu dengan muka keji, "pernah minjem duit sama gue."
Aku terdiam sejenak. Pikiranku melayang pada adegan diriku yang sedang meminjam duit pada Lexie, bagaimana cewek itu menyuruh berlutut dan menyembah-nyembah, dan bagaimana pada akhirnya dia memberiku lima ratus perak.
"Gara-gara kejadian itu?" tanyaku tak percaya. "Tapi itu kan... Itu kan kejadian sepuluh tahun lalu! Zaman itu, duit parkir aja cuma gopek!"
"Justru itu!" balas Lexie tak kalah sengit. "Waktu itu gopek masih penting, nggak kayak zaman sekarang. Pokoknya, sekarang utang lo udah berkembang biak jadi muka si Soetta!"
"Soetta?"
"Soekarno-Hatta, oon!"
"Gila, mana mungkin gue punya si Soettaa?" teriakku sambil memamerkan isi dompetku yang mengenaskan. "Nih, coba lihat. Cuma ada si Imam Bonjol sama Antasari. Puas?"
"Ya udah, gue terima deh!"
"Hah?"
"Gue terima segala yang lo miliki!"
"Enak saja!" bentakku. "Udah tau milik gue minim banget! Sori-sori aja, akan gue lindungi dengan nyawa gue!"
Seharusnya aku tahu, aku tidak boleh mengucapkan kata-kata itu. Tapi saat itu yang kupikirkan hanyalah, tak kubiarkan diriku ditindas cewek mengerikan ini. Bagaikan adegan lambat dalam film, aku berbalik dan mulai melarikan diri, sementara si cewek monster mengejarku dengan mulut menganga lebar yang mengeluarkan suara, "Uooooo!" Aku mengangkat tanganku dan mengayunkannya sambil menoleh ke belakang, tidak menyadari bahwa di depanku ada kantong Chiki.
Sial, aku kepeleset.
Hanya sekejap saja aku kembali ke gerakan normal, yaitu saat aku kepeleset dengan gaya balet yang cupu luar biasa. Setelah itu, adegan lambat mengerikan itu kembali berlangsung. Bagaikan seorang penonton, aku melihat diriku meloncat melewati pagar pembatas balkon, mulutku terbuka lebar-lebar, tapi tak ada satu jeritan pun keluar dari mulutku. Kutatap permukaan tanah yang awalnya setinggi sepuluh meter dan semakin lama semakin dekat itu dengan mata terbelalak lebar.
Jadi beginikah akhir hidupku? Hanya demi tujuh ribu perak? Aku nggak rela!
Itulah pikiran terakhirku sebelum semuanya menjadi gelap.
T A M A T
Tidak ada komentar:
Posting Komentar